Apakah Nihilisme Digital adalah Hasil Pencarian Makna Hari ini? #philoso...
Apakah Nihilisme Digital adalah Hasil Pencarian Makna Hari ini?
Kita hidup di zaman serba cepat, di mana dunia terlipat dalam genggaman, dan kata-kata tercecer di layar-layar kecil yang berkedip tanpa henti. Segalanya ada, namun sesuatu terasa hilang. Kita tertawa, tetapi hampa. Kita berteriak, tetapi suara kita tenggelam dalam kebisingan algoritma. Kita berbicara, tetapi apakah kita benar-benar didengar?
Kita mengejar validasi yang fana—angka-angka yang bertambah di layar, tetapi berkurang di hati. Kita mencari makna di antara potongan-potongan gambar yang dipoles sempurna, tetapi semakin dalam kita menggali, semakin kosong yang kita temui. Apa yang tersisa dari kita jika semua topeng ini runtuh?
Mungkin, ini bukan kehilangan. Mungkin, ini adalah panggilan: sebuah undangan untuk berhenti sejenak dan bertanya, siapa kita tanpa semua ini?
Nietzsche pernah berkata, "Tuhan telah mati." Tetapi, di era ini, mungkin bukan Tuhan yang mati. Mungkin, yang mati adalah kepercayaan kita pada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Kita telah menukar keyakinan dengan notifikasi, mengganti doa dengan scrolling tanpa henti.
Segalanya berlangsung begitu cepat hingga tak ada waktu untuk bertanya, apalagi mencari. Kita terjebak dalam siklus konsumsi: konten, hiburan, informasi, tanpa benar-benar mencerna maknanya. Hidup menjadi potongan-potongan pendek, hilang sebelum sempat dipahami.
Kita berpikir bahwa kebebasan berarti memiliki segalanya dalam genggaman. Namun, dalam kelimpahan itu, kita justru kehilangan arah. Inilah nihilisme digital: saat segala sesuatu tampak mungkin, tetapi tak ada yang benar-benar berarti.
Jika nihilisme adalah kehampaan, eksistensialisme adalah keberanian untuk melawannya. Sartre berkata bahwa manusia dikutuk untuk bebas—bebas menciptakan makna dalam dunia yang tak memberikannya secara cuma-cuma.
Tetapi, kebebasan adalah beban. Pilihan adalah luka yang tak terhindarkan. Kita ingin ada yang membimbing, memberi jawaban pasti, tetapi dunia tidak bekerja seperti itu. Dan di situlah keindahannya: kita sendirilah yang harus memilih.
Maka, jika dunia ini tak menawarkan arti, mengapa kita tidak menciptakannya? Jika realitas ini absurd, mengapa kita tidak menari di atas absurditasnya? Bukankah makna selalu lahir dari keberanian untuk mengada?
Di zaman ini, kita diajarkan untuk mengejar kebahagiaan seperti seorang musafir mengejar fatamorgana di padang pasir. Kita diberi formula: bekerja keras, dapatkan uang, miliki segalanya, lalu bahagia. Tetapi, mengapa semakin banyak yang memiliki segalanya, semakin banyak pula yang merasa hampa?
Viktor Frankl, yang pernah melihat manusia kehilangan segalanya di kamp konsentrasi, menemukan sesuatu yang lebih berharga dari kebahagiaan: makna. Ia berkata bahwa yang membuat manusia tetap hidup bukanlah kebahagiaan, tetapi alasan untuk hidup. Sebuah tujuan. Sebuah makna yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Mungkin, kita telah keliru. Mungkin, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus kita kejar, tetapi sesuatu yang muncul sebagai efek samping dari hidup yang penuh makna.
Jika segalanya cepat berlalu, bagaimana kita bisa menemukan sesuatu yang abadi? Jawabannya bukan pada kecepatan, tetapi pada kesadaran. Mindfulness. Keberanian untuk berhenti, merasakan, dan benar-benar hidup dalam momen ini.
Kita telah kehilangan seni menikmati proses. Kita ingin segalanya instan: sukses instan, cinta instan, kebijaksanaan instan. Tetapi, makna tidak bisa dipercepat. Ia hanya bisa ditemukan dalam perjalanan panjang, dalam kejatuhan dan bangkit kembali, dalam luka yang menjadi bagian dari kisah kita.
Maka, marilah kita kembali pada yang esensial: perbincangan tanpa gangguan, buku yang dibaca tanpa terburu-buru, karya yang diciptakan tanpa mengejar angka. Karena pada akhirnya, yang tertinggal bukanlah berapa banyak yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memilih untuk hidup.
Jika dunia ini tak masuk akal, maka mari kita ciptakan keindahan di dalamnya. Seni, puisi, musik, tulisan—mereka ada bukan untuk menjelaskan dunia, tetapi untuk memberinya warna. Dalam kreativitas, kita menemukan kebebasan untuk menertawakan absurditas, untuk berdansa di atas kehampaan.
Mereka yang mencipta tidak tenggelam dalam nihilisme. Mereka merangkulnya, mengubahnya menjadi sesuatu yang bernyawa. Kita bukanlah sekadar konsumen dari dunia ini. Kita adalah penciptanya.
Pada akhirnya, tidak ada jawaban pasti. Tidak ada formula yang bisa diberikan untuk menemukan makna. Tetapi satu hal yang pasti: kita harus memilih.
Apakah kita akan membiarkan dunia mendikte bagaimana kita hidup? Ataukah kita akan merebut kembali kendali dan menciptakan makna kita sendiri?
Dunia ini akan terus berputar. Algoritma akan terus berubah. Tetapi kita—kita adalah narator dari kisah kita sendiri. Dan mungkin, itulah satu-satunya makna yang kita butuhkan.
Mungkin, hidup ini memang tidak memiliki arti bawaan. Mungkin, semuanya hanyalah kebetulan. Tetapi, jika demikian, bukankah itu justru keajaiban terbesar? Bahwa di tengah kekosongan ini, kita memiliki kebebasan untuk menciptakan, untuk merasa, untuk berbagi?
Kita bukan sekadar angka di layar. Kita bukan sekadar penumpang dalam hidup ini. Kita adalah pencipta makna, arsitek dari takdir kita sendiri.
Maka, apa yang akan kau pilih?
Post a Comment