Apa yang Dicari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Muhammad Ali di Istanbul? KCR Sudah Dipesan, apakah fregate MİLGEM jadi target berikutnya?
Pada tanggal 13 Mei 2025, Istanbul menjadi saksi langkah penting dalam sejarah transformasi kekuatan laut Indonesia. Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali tiba di kota yang membentang di dua benua itu bukan sekadar menjalankan misi diplomatik. Ia hadir sebagai arsitek dari masa depan kekuatan maritim Nusantara, dengan tujuan jelas: memperkuat postur TNI AL melalui akuisisi dan kerja sama pertahanan canggih. Kunjungan ini menggambarkan babak baru dalam strategi maritim nasional yang selama ini hanya dibicarakan di ruang-ruang rapat dan konsep-konsep besar tanpa realisasi konkret.
Lawatan ke Turki kali ini fokus
pada dua galangan kapal yang menjadi simbol kebangkitan industri pertahanan
Turki: Sedef Shipyard dan Sefine Shipyard. Sedef adalah rumah kelahiran dari
kebanggaan maritim Turki, yaitu fregat kelas MİLGEM. Sedangkan di Sefine, dua
unit Kapal Cepat Rudal (KCR) sedang dibangun khusus untuk Indonesia. Dalam
kunjungan dua hari itu, Laksamana Ali tidak hanya melihat-lihat. Ia melakukan inspeksi
langsung, menilai kualitas pembangunan, dan menegaskan bahwa hanya alutsista
yang memenuhi standar tinggi yang layak membawa simbol Garuda.
Fregat MİLGEM, singkatan dari
"Milli Gemi" atau "Kapal Nasional", menjadi magnet utama
perhatian. Dengan lebih dari 80% komponennya berasal dari dalam negeri Turki,
MİLGEM tidak hanya menawarkan kapabilitas tempur modern, tetapi juga kedaulatan
produksi. Kapal ini didesain untuk menjalankan misi peperangan anti-kapal
selam, pertahanan udara, serta mampu mendeteksi dan menetralisir ancaman
maritim modern dengan teknologi canggih. Radar AESA, sonar mutakhir, rudal
anti-kapal, sistem pertahanan udara, serta helipad menjadi fitur andalan yang
menjadikan MİLGEM setara bahkan melampaui fregat buatan Eropa dan Asia Timur.
Kehadiran Indonesia di tengah
pengembangan kapal ini bukan tanpa alasan. TNI AL sedang memproyeksikan
kekuatan armadanya untuk dapat menjangkau lebih luas, bertahan lebih lama di
laut, dan memberikan daya tangkal yang nyata di tengah ketegangan regional.
Dengan panjang 113 meter, kecepatan lebih dari 29 knot, serta desain siluman
yang membuatnya sulit dideteksi radar musuh, MİLGEM menjadi kandidat serius
untuk masuk dalam daftar pembelian Indonesia.
Namun, tidak hanya fregat yang
menjadi fokus. Dua unit KCR yang tengah dibangun di Sefine Shipyard juga
menjadi sorotan penting. Dirancang untuk "full combat mission", kapal
ini bukan sekadar armada patroli cepat. Mereka adalah mesin tempur berkemampuan
tinggi, dilengkapi sistem radar, rudal, dan mesin yang memungkinkan manuver
cepat di perairan sempit seperti Selat Malaka dan Laut Natuna. Laksamana Ali
menyatakan bahwa kedua unit KCR ini adalah prototipe masa depan yang akan diuji
kelayakannya sebelum diputuskan untuk dilanjutkan ke produksi lanjutan.
Kebutuhan akan KCR sangat
krusial. Wilayah perairan Indonesia yang luas dan kompleks menuntut armada yang
gesit dan kuat. Dari patroli di wilayah rawan penyelundupan, hingga intersepsi
kapal asing yang masuk tanpa izin, KCR memainkan peran vital dalam pertahanan perbatasan
maritim. Dengan tambahan dari Turki ini, TNI AL dapat melakukan uji coba taktik
baru yang lebih responsif dan adaptif terhadap ancaman yang semakin kompleks.
Lebih dari sekadar pembelian,
kunjungan ke Turki ini adalah bagian dari roadmap besar yang telah disusun oleh
KSAL Muhammad Ali sejak awal 2025. Ia menyusun strategi menyeluruh yang
mencakup pembangunan kapal induk ringan, kapal selam taktis, sistem sonar bawah
laut, serta integrasi sistem pertahanan pantai. Modernisasi tidak hanya menyasar
alutsista, tapi juga kemampuan komando dan kontrol, sistem logistik, serta
digitalisasi sistem tempur.
Fregat menjadi salah satu
prioritas utama. Sebagai platform tempur kelas menengah, fregat memiliki
kemampuan operasional yang luas. Mereka bisa bertindak sebagai kapal pengawal,
penegak hukum maritim, hingga platform tempur mandiri di zona ekonomi
eksklusif. Di tengah dinamika kawasan seperti meningkatnya patroli China di
Laut Cina Selatan atau aktivitas militer Australia di Pasifik, kebutuhan
Indonesia akan fregat modern semakin mendesak.
Menariknya, Indonesia tidak
terpaku pada satu sumber. Selain Turki dengan MİLGEM-nya, Italia telah
menyuplai dua kapal PPA (Pattugliatori Polivalenti d’Altura), dan proyek dalam
negeri seperti fregat Merah Putih dan light frigate di Lampung juga terus
berjalan. Strategi multisumber ini adalah bentuk diversifikasi risiko sekaligus
pengayaan teknologi, agar Indonesia bisa belajar dari berbagai sistem dan
menyusun standar sendiri yang sesuai kebutuhan operasionalnya.
Kunjungan KSAL Ali juga membuka
kemungkinan baru: apakah MİLGEM hanya akan dibeli sebagai produk jadi, atau
akan diproduksi bersama di Indonesia? Jika negosiasi berhasil, ini bisa menjadi
momen penting dalam transfer teknologi dan pemberdayaan industri pertahanan nasional.
Turki sendiri terbuka terhadap kerja sama semacam ini, sebagaimana mereka telah
lakukan dengan Pakistan dan Ukraina.
Di balik semuanya, satu hal
menjadi semakin jelas: kekuatan laut Indonesia sedang dirancang ulang secara
serius. Visi Presiden Prabowo Subianto tentang Indonesia sebagai negara maritim
tampaknya bukan slogan belaka. Dengan garis pantai hampir 100.000 km, dan lebih
dari 17.000 pulau, kekuatan laut adalah kebutuhan mutlak, bukan sekadar
kebanggaan nasional. Apalagi dengan makin ketatnya persaingan geopolitik di
kawasan Indo-Pasifik, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton.
Strategi baru ini juga
menyentuh aspek non-fisik. TNI AL kini membangun kapabilitas Cyber Navy—unit
khusus yang menangani keamanan siber dan perang elektronik. Di era digital,
ancaman bisa muncul dari jaringan komputer, bukan hanya dari kapal musuh. Ini
adalah bentuk kesadaran baru bahwa laut tidak hanya terdiri dari gelombang,
tapi juga data.
Namun, semua ini tidak akan
berarti tanpa dukungan rakyat dan pemangku kepentingan. Apakah publik siap
memahami pentingnya laut dalam sistem pertahanan nasional? Apakah para politisi
bersedia mendukung anggaran besar yang dibutuhkan untuk membangun armada
modern? Transformasi ini menuntut konsensus nasional yang tidak bisa hanya
mengandalkan TNI AL sendiri.
Dengan lawatan ke Istanbul,
Laksamana Muhammad Ali telah menyalakan mercusuar arah baru bagi TNI Angkatan
Laut. Dari Sedef hingga Sefine, dari MİLGEM hingga KCR, masa depan kekuatan
laut Indonesia sedang digambar ulang. Kini tantangan berikutnya adalah:
mewujudkannya menjadi kenyataan, menjadikannya pilar utama dalam menjaga
kedaulatan, stabilitas, dan kepentingan nasional di panggung maritim global.
mantab
BalasHapus