Kapal Selam Indonesia-Korea Selatan: Misi Strategis yang Gagal atau Batu Loncatan Masa Depan?
Laut Nusantara dan Bayang-Bayang Ancaman
Indonesia, negara kepulauan terbesar di
dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai mencapai 81.000
kilometer, menghadapi tantangan berat dalam menjaga kedaulatan lautnya. Di era
geopolitik modern, kekuatan laut bukan lagi sekadar simbol nasionalisme, tetapi
instrumen vital untuk mempertahankan wilayah dan stabilitas regional. Kapal
selam menjadi salah satu senjata strategis yang mampu beroperasi secara
diam-diam dan mematikan dari kedalaman laut. Namun ironisnya, kekuatan bawah
laut Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga. Maka
kerja sama strategis dengan Korea Selatan pun menjadi sorotan utama: apakah
langkah ini benar-benar membawa kemajuan, atau sekadar mimpi yang kandas di
tengah jalan?
Lahirnya Harapan dari Negeri Ginseng
Tahun 2011 menjadi titik balik ketika
Indonesia menandatangani kontrak pembelian tiga kapal selam kelas Chang Bogo
dari Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Korea Selatan senilai
lebih dari USD 1,1 miliar. Proyek ini bukan sekadar pembelian alat utama sistem
senjata (alutsista), tapi juga diklaim sebagai proyek transfer teknologi
strategis. Dua kapal dibangun sepenuhnya di Korea, sementara kapal ketiga—KRI
Alugoro-405—dirakit di Indonesia sebagai simbol ambisi kemandirian. Namun,
apakah ambisi ini sejalan dengan realita di lapangan?
Chang Bogo—Raksasa Sunyi dari Selatan
Kapal selam Chang Bogo adalah mesin
perang canggih: panjang 61,2 meter, berat lebih dari 1.400 ton, mampu menyelam
hingga 250 meter, dan bertahan beroperasi selama 50 hari tanpa dukungan luar.
Persenjataannya terdiri dari delapan tabung torpedo 533 mm dan kemampuan
membawa rudal anti-kapal. Sistem sonar dan navigasi sudah diperbarui dengan
teknologi modern dari Korea. Bagi Indonesia yang sebelumnya hanya
mengoperasikan dua kapal selam kelas Cakra buatan Jerman era 1980-an, kehadiran
Chang Bogo ibarat lompatan kuantum. Namun di balik teknologi, kesiapan sumber
daya manusia dan infrastruktur pendukung menjadi ujian berat.
Mimpi Kemandirian—Alugoro dan Transfer
Teknologi
KRI Alugoro-405 yang dirakit oleh PT
PAL Surabaya menjadi simbol ambisi besar Indonesia dalam menguasai teknologi
kapal selam. Namun perjalanan menuju kemandirian penuh jauh dari mulus. Proyek
ini mengalami keterlambatan signifikan, diiringi tantangan teknis dan logistik
yang tak ringan. Banyak pihak bertanya-tanya: apakah kita benar-benar membangun
atau hanya merakit berdasarkan petunjuk teknis? Transfer teknologi sejati
harusnya melampaui sekadar perakitan, menuju penguasaan desain, produksi
komponen, dan inovasi lokal.
KRI Nagapasa dan Ardadedali—Taring Baru
di Kedalaman
KRI Nagapasa-403 dan Ardadedali-404
hadir lebih dulu di Armada II TNI AL pada 2017 dan 2018. Kapal-kapal ini
beroperasi dengan prinsip “silent killer,” mampu mendekati target tanpa
terdeteksi. Awak kapal dilatih di Korea Selatan dan pelatihan lanjutan di dalam
negeri. Namun, dua kapal selam saja jelas tak cukup untuk menjaga wilayah laut
yang luas dan strategis. Indonesia idealnya membutuhkan minimal 12 kapal selam
untuk operasi optimal. Lalu, di manakah kelanjutan ambisi ini?
Di Balik Kilau Alugoro—Kendala dan
Kontroversi
Meski menjadi kebanggaan sebagai kapal
selam buatan lokal pertama, Alugoro-405 tak lepas dari kontroversi. Proyek
molor dari jadwal, kualitas pengerjaan masih bergantung pada pendampingan
Korea, dan banyak komponen vital masih harus diimpor. Masalah teknis di
lapangan seperti sistem navigasi yang belum optimal dan kurangnya suku cadang
menghambat kesiapan operasional. Kemandirian industri pertahanan tak cukup
dengan membangun galangan kapal; diperlukan ekosistem teknologi berkelanjutan.
Transfer Teknologi—Retorika atau
Realita?
PT PAL mengklaim telah melatih
insinyur-insinyur lokal, namun pertanyaan besarnya adalah: apakah mereka
benar-benar mampu merancang dan memproduksi kapal selam dari nol? Atau hanya
mampu mengikuti cetak biru yang disediakan Korea? Tanpa kemampuan desain dan
inovasi mandiri, ketergantungan tetap menjadi bayang-bayang yang membayangi
masa depan kemandirian industri pertahanan Indonesia.
Kegagalan Kontrak Lanjutan—Retak di
Tengah Jalan
Harapan untuk membeli tiga kapal selam
tambahan dari Korea berakhir pahit. Pada 2021, kontrak lanjutan senilai USD 1,2
miliar dibatalkan, secara resmi karena keterbatasan anggaran pandemi. Namun,
analis meyakini faktor lain juga berperan: lambatnya proyek, kualitas transfer
teknologi yang diragukan, dan kegagalan membangun ekosistem lokal. Pembatalan
ini memperlihatkan bahwa kerja sama ini bukan tanpa masalah besar.
Ketegangan Diam-Diam antara Jakarta dan
Seoul
Meski tak diumumkan resmi, hubungan
pertahanan Indonesia dan Korea Selatan diyakini mengalami ketegangan. Ketika
kepercayaan menipis, Indonesia mulai mencari alternatif lain: Prancis dengan
Scorpene, Turki dengan STM500, bahkan Jepang dan Jerman mulai masuk radar.
Apakah ini tanda bahwa proyek Korea Selatan dianggap gagal dan kehilangan
posisi eksklusif?
Strategi Prabowo—Menata Ulang Arah
Armada Bawah Laut
Di bawah Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto, pendekatan pengadaan alutsista berubah. Prabowo dikenal pragmatis dan
agresif dalam mengejar transfer teknologi dari berbagai mitra. Ia tak segan
membatalkan proyek jika tidak efisien. Dalam hal kapal selam, ia membuka
peluang kolaborasi multinasional, mengakui bahwa proyek Korea belum memenuhi
ekspektasi.
Dampak Geopolitik—Mitra Strategis yang
Berubah Arah
Kegagalan proyek kapal selam Korea
Selatan membawa dampak besar di ranah geopolitik. Korea yang sebelumnya mitra
penting di berbagai lini, seperti pesawat tempur KF-21, menghadapi risiko
ditinggalkan Indonesia. Sementara itu, Prancis dan Jerman gencar menawarkan
kerja sama lebih inklusif. Bagaimana dinamika ini akan mengubah peta aliansi
pertahanan Indonesia?
Persaingan Global di Laut ASEAN
Asia Tenggara kini menjadi arena
persaingan produsen alutsista global. Dengan ketegangan Laut Cina Selatan yang
meningkat, Prancis, Jerman, Turki, dan Rusia berlomba menawar kapal selam kepada
negara-negara ASEAN. Indonesia sebagai pasar terbesar berpotensi menjadi kunci
pengaruh di kawasan. Kegagalan Korea memberikan peluang bagi rival mereka.
Belajar dari Kegagalan—Refleksi
Nasional
Kegagalan bukan akhir, melainkan momen
untuk evaluasi. Proyek kapal selam Korea menjadi pembelajaran mahal bahwa
kemandirian harus dibangun secara bertahap dan konsisten. Transfer teknologi
memerlukan komitmen jangka panjang, bukan sekadar formalitas kontrak. Kemajuan
alutsista harus dibarengi penguatan SDM, litbang, dan industri lokal.
PT PAL, Pilar atau Beban?
PT PAL menjadi pusat proyek ini, namun
performanya masih kontroversial. Sukses merampungkan Alugoro, tapi
ketergantungan pada teknologi asing dan lambannya adaptasi menjadi sorotan.
Apakah PT PAL siap jadi tulang punggung industri pertahanan nasional atau masih
pelengkap bagi proyek asing?
Masa Depan Kapal Selam RI—Mimpi
Scorpene dan STM500
Setelah stagnasi proyek Korea,
Indonesia membuka peluang baru pada kapal selam Scorpene (Prancis) yang modular
dan mudah alih teknologi, serta STM500 (Turki) dengan kerja sama penuh dan
pembiayaan lunak. Namun, pilihan ini perlu evaluasi matang agar kegagalan masa
lalu tidak terulang.
Kesiapan SDM dan Ekosistem Industri
Kapal selam canggih tak berarti tanpa
operator dan teknisi handal. Pelatihan dan pendidikan vokasi serta pengembangan
teknologi lokal harus diprioritaskan. Tanpa ekosistem matang, teknologi terbaik
sekalipun akan jadi beban logistik.
Diplomasi Pertahanan—Berlayar di Tengah
Banyak Kepentingan
Diplomasi alutsista sangat penting.
Indonesia harus cerdik memainkan peran sebagai mitra strategis, bukan sekadar
pembeli. Kerja sama yang saling menguntungkan akan membuka ruang bagi
pengembangan industri nasional.
Publik dan Transparansi—Hak Rakyat atas
Informasi
Dalam era keterbukaan, rakyat berhak
mengetahui penggunaan dana triliunan rupiah untuk proyek strategis. Pemerintah
harus transparan soal kemajuan, kendala, dan kebijakan agar dukungan publik
bisa berdasarkan informasi yang jelas, bukan narasi sepihak.
Teknologi vs Kebutuhan Realistis
Indonesia harus cermat memilih kapal
selam yang sesuai dengan karakter laut Nusantara. Tidak semua teknologi
tercanggih cocok dengan kedalaman, arus, dan ancaman regional. Pilihan harus
realistis dan aplikatif.
Momentum Strategis Menuju 2045
Target Indonesia menjadi kekuatan
maritim dunia pada 2045 menuntut modernisasi armada bawah laut. Ini momentum
untuk menyusun cetak biru jangka panjang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Gagal atau Sukses? Kita yang Menentukan
Kerja sama kapal selam dengan Korea Selatan meninggalkan jejak
kontroversi. Apakah ini kegagalan total? Tidak sepenuhnya. Apakah ini sukses
besar? Juga belum. Ini cermin proses belajar yang belum selesai. Kini, bola ada
di tangan Indonesia: terus mengulang ketergantungan, atau bangkit menjadi
bangsa mandiri dan inovatif?
Post a Comment