Murah Tapi Maut! Layakkah Indonesia Pilih J-10C?
Langkah Diam yang Bisa Menggemparkan Kawasan
Bayangkan satu pagi yang tenang, lalu tiba-tiba
publik Indonesia dikejutkan oleh pengumuman resmi: TNI Angkatan Udara akan
mengakuisisi 24 unit jet tempur Chengdu J-10C dari Tiongkok. Tak ada
desas-desus sebelumnya, tak ada sinyal dari parlemen atau Menhan—langsung
kontrak. Bukan dari AS, bukan dari Eropa, tapi dari Beijing. Langkah
mengejutkan ini bukan cuma soal teknologi, tapi tentang arah baru kebijakan
luar negeri dan pertahanan Indonesia. Di dunia yang semakin bipolar, apakah ini
sekadar pengadaan pesawat tempur, atau sinyal diplomatik yang sarat makna?
Manuver Geopolitik di Balik Siluet Delta
J-10C, dengan desain delta wing dan canard-nya,
tampak seperti pesawat era transisi. Tapi di balik bentuk klasik itu, ia
mengirim pesan kuat: Tiongkok kini bukan sekadar peniru, melainkan pemimpin
teknologi regional. Jika Indonesia jadi membeli, itu tak sekadar soal efisiensi
anggaran, tapi juga pengakuan implisit terhadap kapabilitas militer China.
Dalam konteks geopolitik, akuisisi ini bisa menempatkan Indonesia di poros
tarik-menarik kekuatan global. Mampukah kita tetap netral sambil menerima
teknologi dari Beijing?
Teknologi Canggih atau Kuda Troya Digital?
Jet ini mengusung radar AESA, kemampuan rudal
beyond visual range (BVR), hingga avionik digital kelas tinggi. Namun, seluruh
ekosistem teknologi itu berbasis sistem tertutup Tiongkok. Di era peperangan
siber dan drone, interoperabilitas adalah pedang bermata dua. Apakah data tempur
kita akan tetap aman? Atau justru kita membuka pintu bagi pengawasan
terselubung? Efisiensi dan harga murah tak lagi cukup tanpa jaminan kedaulatan
data.
Harga, Offset, dan Ilusi Kemandirian
J-10C disebut-sebut seharga setengah dari Rafale.
Tapi kemandirian bukan soal harga beli, melainkan tentang apa yang bisa kita
kembangkan sendiri setelah pembelian. Apakah ada peluang transfer teknologi?
Pembangunan industri dalam negeri? Atau kita hanya akan jadi konsumen abadi?
Dalam banyak kasus pengadaan dari negara otoriter, offset sering kali menjadi
janji tanpa realisasi. Indonesia harus hati-hati agar tidak membeli “murah”
tapi kehilangan arah pembangunan alutsista nasional.
Rantai Logistik dan Ketergantungan Politik
Membeli jet berarti masuk dalam komitmen jangka
panjang: pelatihan, suku cadang, sistem persenjataan, dan software. Selama 30
tahun, kita akan tergantung pada kebijakan ekspor China. Bila hubungan
bilateral memburuk, apakah pasokan bisa tetap stabil? Ataukah, seperti Rusia,
Tiongkok akan menjadikan logistik senjata sebagai alat tekanan diplomatik?
Apakah Jet Ini Cocok dalam Doktrin Pertahanan
Indonesia?
Secara teknis, J-10C punya kecepatan, daya manuver,
dan kemampuan dogfight yang menjanjikan. Tapi dalam sistem pertahanan Indonesia
yang multi-platform—campuran Barat dan Timur—muncul pertanyaan besar: bisakah
ia terintegrasi dalam sistem komando dan radar kita yang mayoritas berbasis
Barat? Tanpa itu, J-10C hanya akan menjadi "loner" di langit—hebat
tapi tidak efektif dalam jaringan.
Skadron Baru atau Sistem Paralel yang Mahal?
Jika masuk, J-10C hampir pasti harus punya skadron
sendiri. Artinya, pelatihan pilot, simulator baru, sistem logistik dan
perawatan mandiri. Ini investasi besar hanya untuk satu platform. Memaksanya
masuk ke skadron campuran akan menghadirkan risiko interoperabilitas. Maka,
akuisisi ini lebih dari sekadar pembelian—ia adalah penciptaan ekosistem baru
yang mahal dan kompleks.
Reaksi Kawasan: Alarm Dini dari Selatan dan Barat
Tak ada negara tetangga yang akan mengabaikan
langkah ini. Malaysia mungkin bertanya-tanya, Singapura bisa menyesuaikan
anggaran, dan Australia? Bisa jadi mereka akan memperdalam kerja sama
pertahanan dengan AS. Sebab, bagi mereka, pembelian jet tempur China bukan
sekadar pergeseran teknis, tapi simbolis: bahwa Jakarta mulai bergeser dari
garis tengah nonblok.
PL-15: Taring yang Mengubah Permainan
PL-15, rudal BVR dengan jangkauan lebih dari 200
km, adalah kekuatan sejati dari J-10C. Rudal ini bisa menghantam target sebelum
terlihat radar. Tapi pertanyaannya, apakah Indonesia akan diizinkan membeli
PL-15 secara penuh? Jika ya, kekuatan udara Indonesia akan melompat jauh. Jika
tidak, maka J-10C hanya jadi platform setengah matang—gagah di tampilan, tapi
ompong di pertempuran.
Kinerja Tempur: Sudah Teruji di Langit Asia Selatan
J-10C bukan sekadar prototipe. Dalam konflik udara
antara Pakistan dan India, jet ini terbukti mampu menembak jatuh Su-30MKI
India—jet Rusia yang juga digunakan Indonesia. Bahkan ada laporan yang menyebut
keterlibatannya dalam menaklukkan Rafale India. Ini bukan lagi pertarungan
brosur, tapi hasil nyata di lapangan. Dalam konteks Indonesia yang harus
memilih jet efektif di tengah anggaran terbatas, J-10C muncul sebagai
alternatif yang—secara statistik—masuk akal.
Biaya Tersembunyi yang Tak Tertera di Kontrak
Harga pesawat bukanlah total biaya. Rudal,
pelatihan, logistik, serta biaya politik dan diplomatik sering kali jauh lebih
tinggi. Akankah pembelian ini merusak relasi strategis kita dengan AS, Jepang,
atau Korea Selatan? Apakah kita siap kehilangan kepercayaan dari mitra-mitra
penting demi langkah satu arah ke Beijing?
Kedaulatan Digital dalam Bahaya?
Sistem avionik, GPS, bahkan data-link Jet Fighter
Chengdu J-10C bisa menjadi lubang keamanan nasional. Apakah semua sistem itu
diaudit secara mandiri? Atau justru jadi celah bagi pengintaian jarak jauh? Di
zaman informasi, celah kecil bisa jadi bencana besar.
Strategi “Bermain Dua Kaki”: Tetap Seimbang atau
Tersandung?
Indonesia selama ini berhasil menjalankan strategi
nonblok dengan membeli alutsista dari banyak sumber. Namun, terlalu banyak kaki
bisa membuat kita kehilangan pijakan. Jet Barat, Rusia, Korea, dan sekarang
China—seberapa lama sistem ini bisa bertahan sebelum menjadi terlalu berat
untuk ditopang?
Perubahan Postur TNI AU: Solusi atau Fragmentasi?
Penempatan J-10C di wilayah timur Indonesia bisa
menjadi deterens strategis. Tapi, itu juga berarti rombak besar pada sistem
logistik, pelatihan, dan komando. Apakah TNI AU siap? Atau justru akan
menghadapi fragmentasi alutsista yang memperlemah efisiensi?
Reaksi Internal: Perang Pandangan di Tubuh Militer
Tidak semua orang di internal TNI AU akan setuju.
Beberapa perwira senior mungkin mempersoalkan durabilitas, keandalan, dan
kontrol sistem J-10C. Apakah keputusan ini murni teknis dan operasional? Atau
justru politis?
SDM: Siapkah Pilot dan Teknisi Kita?
Setiap jet baru berarti sistem pelatihan baru.
Bahasa, sistem kerja, bahkan simulator baru. Padahal, TNI AU masih dalam proses
mendalami Rafale dan F-15EX. Apakah kita siap mulai dari nol lagi?
Nasib Industri Dalam Negeri: Dukung atau Ganggu
KF-21?
Indonesia sedang terlibat dalam proyek KF-21
Boramae bersama Korea Selatan. Masuknya J-10C bisa dipersepsikan sebagai
pengalihan komitmen, bahkan kemunduran dalam upaya membangun kemampuan produksi
nasional. Apakah ini keputusan jangka pendek yang mengorbankan masa depan?
Kesimpulan: Apakah J-10C Solusi atau Kompromi?
Jet tempur Chengdu J-10C bisa jadi kekuatan udara
baru yang efisien, mematikan, dan cepat. Tapi di balik setiap angka dan
spesifikasi teknis, ada pertanyaan besar tentang integrasi, kedaulatan, dan
geopolitik. Ini bukan sekadar pembelian pesawat, tapi keputusan strategis yang
akan membentuk wajah militer dan diplomasi Indonesia di dekade mendatang.
Solusi atau kompromi? Seperti biasa, jawabannya ada di garis tipis antara
kebutuhan dan kepentingan.
Post a Comment